asWw...

weLcome to my bLog.... selamat Membaca ^^_

me

me
so sweet

Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Maret 2011

UNTUNG - RUGI

_assalaamu’alaikum wr. wb.

Adalah sebuah fitrah manusia untuk memikirkan untung-rugi dari setiap langkah yang akan diambilnya. Dalam bahasa fiqihnya : manfaat dan mudharatnya. Memang itulah gunanya akal, yaitu untuk menimbang-nimbang baik-buruknya suatu perbuatan dan memilih yang terbaik dari sekian banyak pilihan. Kalau tidak digunakan untuk melakukan pertimbangan semacam ini, lantas apa lagi gunanya akal?

_Sungguh wajar pula jika manusia melakukan perniagaan dengan pertimbangan untung-rugi semacam ini. Sejujurnya, semua orang berdagang untuk mencari keuntungan. Ini bukanlah kesalahan, karena manusia jaman sekarang memang butuh uang untuk segala sesuatunya. Jaman dulu, manusia bisa hidup dari sayuran dan buah-buahan di ladangnya sendiri, atau dengan menyembelih ternaknya sendiri. Sekarang, hal ini tidak lagi realistis kecuali bagi para petani dan peternak profesional.

Al-Qur’an dan Al-Hadits, secara eksplisit ataupun implisit, juga selalu berpesan agar manusia menimbang-nimbang dengan cermat segala tindakannya. Ada perbuatan yang merugikan, sia-sia, dan menguntungkan. Kalau diberi nilai numerik, maka segala yang merugikan itu bernilai minus, yang sia-sia bernilai nol alias balik modal, sedangkan yang menguntungkan itu diberi nilai plus.

_Jangankan yang minus, yang bernilai nol pun dilarang untuk melakukannya. Pada banyak ayat dalam Al-Qur’an, Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan perbuatan yang sia-sia. Kita pun bisa melihat kesesuaian perintah ini dengan ucapan dan perbuatan utusan-Nya yang mulia, yaitu Rasulullah saw. Jadi, kalau yang balik modal pun harus dihindari, maka hanya ada satu pilihan bagi seorang Muslim, yaitu terus-menerus mengeruk keuntungan.

_Tentu saja, keuntungan yang dimaksud tidak selalu bermakna finansial. Dalam menyikapi takdir, Islam memperkenalkan konsep sabar dan syukur. Jika kita mengalami musibah atau cobaan, maka kita diperintahkan untuk sabar agar bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari peristiwa itu, yaitu pelajaran dan hikmah yang mendalam. Ketika kita mendapatkan kesenangan, maka Allah SWT memerintahkan kita untuk bersyukur, agar keuntungan kita terus bertambah dan berlipat ganda. Jika kita bersumpah-serapah ketika mengalami musibah, maka kita akan merugi dalam berbagai aspek. Demikian juga keuntungan finansial dapat menjadi bumerang jika kita tidak pandai-pandai bersyukur.

_Konsep untung-rugi atau manfaat-mudharat ini menjadi sangat rancu ketika diterapkan dalam hubungan antara manusia dan Allah. Kadang-kadang, disadari atau tidak, diakui atau tidak, manusia sering menimbang-nimbang sikapnya terhadap Allah berdasarkan untung-ruginya.
...._Ada dua masalah yang mendasar dalam hal ini, yaitu :
(1) Allah bukanlah rekanan sejajar manusia atau partner transaksi yang sama derajatnya dengan manusia, dan
(2) manusia sering tidak teliti dalam menimbang untung-rugi.

Hablumminannaas jelas berbeda dengan hablumminallaah. Dalam hubungan antarmanusia, kita tidak boleh bersikap rendah diri. Sebaliknya, ketika berhadapan dengan Allah, bahkan meragukan keputusan-Nya pun tidak diperbolehkan. Kita tidak boleh terintimidasi oleh sesama manusia. Sebaliknya, kita bahkan tidak boleh bersuara lantang ketika berdoa kepada Allah. Manusia boleh protes jika merasa dizalimi oleh orang lain. Akan tetapi, apakah gunanya memprotes keputusan Allah yang serba tidak bisa diganggu gugat?

_Oleh karena itu, tidaklah pantas bagi kita untuk memperlakukan Allah seperti partner dagang kita. Kita tidak boleh memprotes ‘tarif’ yang telah ditetapkan oleh Allah dan jelas tidak berlaku hukum tawar-menawar. Tawar-menawar hanya berlaku jika kedua belah pihak saling membutuhkan, sehingga perlu mencapai kata sepakat. Dalam hal ini, manusialah yang serba butuh, sementara Allah sama sekali tidak membutuhkan apa-apa dari kita.

_Karena itu, ketika berbicara soal motivasi menjalankan perintah agama, maka jawaban pertama yang harus dimunculkan adalah karena Allah SWT telah memerintahkannya. Meskipun jelas bahwa shaum itu menyehatkan tubuh manusia, namun kita tidak melaksanakannya karena sekedar ingin sehat. Kita melakukannya karena Allah memberi kita perintah untuk melakukannya. Demikian juga shalat, berwudhu, istinja’, meninggalkan khamr, semuanya memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Meski demikian, alasan utama bagi kita untuk melaksanakannya adalah karena Allah, bukan karena manfaat-manfaat tersebut.

_Persoalannya begini. Jika kita berorientasi pada untung-rugi dalam beribadah, maka kita secara tidak langsung telah menggugat otoritas Allah. Seolah-olah Allah berkewajiban memberikan rahmat-Nya kepada manusia, padahal tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang bisa memaksa Allah untuk berbuat demikian. Kalau memang Allah membagi-bagikan rahmat-Nya kepada manusia, itu karena Dia adalah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Kaya dan Maha Pengampun. Allah melakukan hal tersebut karena Dia berkehendak melakukannya, bukan karena ada yang mewajibkan Dia untuk berbuat demikian.

_Masalah berikutnya akan terjadi ketika kita belum bisa menelaah ‘untung-rugi’ dari suatu ibadah. Bayangkanlah kondisi umat Islam beberapa abad yang lalu, ketika mereka belum lagi memahami manfaatnya wudhu. Jika mereka berpegang pada untung-ruginya, maka bisa jadi mereka akan meninggalkannya begitu saja. Padahal wudhu jelas memiliki manfaat, hanya saja manfaat tersebut baru diketahui belum lama ini. Kini, manfaat wudhu bagi kesehatan telah disorot oleh banyak ahli, misalnya Prof. Hembing.

_Kita tidak mungkin menunggu akal kita untuk sanggup menelaah untung-rugi dari suatu ibadah, karena Allah tidak hendak menunggu. Barangsiapa telah mendengar kewajiban yang Allah berikan padanya, maka ia wajib untuk bersegera melaksanakannya. Memang Allah tidak menuntut kesempurnaan atau keberhasilan, akan tetapi manusia harus menunjukkan usahanya yang gigih. Karena itu, apa pun yang Allah perintahkan, maka manusia berkewajiban untuk melaksanakannya. Memikirkan manfaat dari perintah-perintah tersebut jelas diperbolehkan, namun tidak bisa dijadikan sumber motivasi utama dalam beribadah.

_Masalah besar kedua dalam menilai ‘untung-rugi’ ini adalah ketidakcermatan dalam melakukan perhitungan. Sama seperti penyanyi dangdut yang gemar berkeluh-kesah dalam lagunya, seolah-olah merekalah manusia yang tersial di dunia. Padahal, tidak ada manusia yang sial. Semuanya beruntung, karena Allah membagi-bagikan rahmat-Nya secara gratisan kepada manusia, bahkan yang kafir sekalipun. Bahkan manusia tidak pernah berhasil menghitung rahmat-Nya secara teliti.

Susahnya, manusia memang gemar mengeluh. Satu hari jatuh sakit, ia bersikap seolah-olah telah sakit berhari-hari lamanya. Padahal, kalau ia mau berhitung, maka hari-hari yang dilaluinya dalam kesehatan jauh lebih banyak daripada hari-hari sakitnya.

Kalaupun ada manusia yang lebih sering sakit daripada sehatnya, atau menderita cacat, maka ia pun tidak berhak mengeluh. Dengan keterbatasan itu, masih banyak rahmat lain yang telah Allah berikan padanya. Lagipula, sejak awal manusia memang tidak memiliki apa-apa di dunia ini. Karena itu, jika Allah berkehendak untuk tidak memberikan kesempurnaan fisik pada seseorang, maka hal itu sepenuhnya adalah hak Allah. Manusia tidak berhak protes.

Stephen Hawking tidak berhenti berkarya meskipun nyaris lumpuh total. Forrest Gump tidak berhenti meskipun ia tahu betul dirinya idiot. Dan yang jelas, Nabi Musa as. tidak pernah mengeluh dalam mengemban tugasnya yang super berat itu meskipun lidahnya tidak lancar berbicara. Banyak hal yang bisa kita lakukan jika kita tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh.

Jika manusia menghitung untung-rugi dalam hubungannya dengan Allah, lantas standar apa yang digunakannya? Apakah uang menjadi ukuran? Apakah kesempurnaan fisik menjadi parameternya? Apakah bertubuh seksi adalah sebuah keuntungan, sementara bertubuh subur adalah sebuah kerugian? Apakah banyak uang itu baik, sedangkan miskin itu buruk? Sayangnya, segalanya tidak sesederhana itu.

_Katakanlah Allah menjadikan kita buta. Tentu kita sedih dan bermimpi suatu hari akan bisa melihat lagi. Apakah kita merugi? Belum tentu. Dengan kebutaan itu, maka Allah SWT telah mencabut fitnah syahwat mata dari hidup kita. Sementara orang lain menjebloskan dirinya sendiri karena ulah matanya, orang-orang buta tidak menemukan masalah yang sama. Selain itu, tanggung jawab orang buta tentu lebih kecil daripada orang-orang yang bisa melihat. Apakah orang buta merugi? Tergantung bagaimana ia menyikapi kebutaannya itu.

_Bagaimana jika Allah menjadikan kita hidup dalam harta yang melimpah-ruah? Apakah ini sebuah keuntungan? Belum tentu. Dengan banyak harta, kita memiliki banyak pilihan, sedangkan tidak semua pilihan itu baik. Harta bisa digunakan untuk membangun masjid, berdakwah, membiayai pendidikan anak, memelihara anak yatim, namun juga bisa digunakan untuk membuat pabrik ekstasi, menyewa pelacur, berjudi di Las Vegas, dan sebagainya. Godaan-godaan semacam ini tidak dialami oleh mereka yang tidak berduit. Apakah uang adalah sebuah keuntungan? Tergantung bagaimana kita menggunakannya.

_Bagaimana pun, nampaknya sulit meyakinkan manusia untuk tidak selalu menghitung untung-rugi dengan Allah. Manusia memang gemar mengeluh. Ada yang malas shalat jika sedang dirundung musibah, karena menyangka Allah telah bersikap tidak adil padanya. Ada pula yang justru lebih khusyu’ beribadah ketika menghadapi cobaan, namun segera lupa pada Allah ketika hidupnya telah tenang kembali. Sikap-sikap semacam ini adalah sebuah kesesatan cara berpikir.

_Jika kita mau berpikir lebih mendalam, sebenarnya kita tidak perlu mengkhawatirkan untung-rugi ketika berurusan dengan Allah SWT. Apa pun yang terjadi, manusia sebenarnya selalu beruntung. Kita tidak memiliki apa-apa, namun Allah terus memenuhi segala kebutuhan kita. Walaupun kita tidak meminta, Allah tetap melimpahkan rahmat-Nya. Ini adalah sebuah kenyataan yang kita alami setiap harinya, namun sedikit sekali yang menyadarinya.

_Manusia tidak pantas menuntut macam-macam kepada Allah, karena Allah tidak pernah menzalimi manusia. Jika Dia memberikan cobaan, maka Dia pun pasti telah menyiapkan imbalan yang amat besar jika kita bisa bersabar menghadapinya. Jika Dia memberikan rahmat, maka Dia pun telah menyiapkan balasan yang amat besar jika kita benar-benar bersyukur. Apa lagi yang bisa kita keluhkan?

_...wassalaamu’alaikum wr. wb.

^03 Juni 2010 jam 21:37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar